Kenapa Ya Listrik Kok Byar Pet akhir-akhir ini

Sangat menyebalkan memang! Ketika musim ujian mid semester seperti sekarang ini saat lagi semangat-semangatnya  mbuka-mbuka diktat kuliah eh, listrik tiba-tiba padam. Tentu bukan hanya saya yang sebal kan? Mayoritas penduduk Indonesia saat ini merasakannya lebih-lebih bagi mereka yang tinggal di Pulau Sumatra, bahkan mereka sampai demo segala menuntut PLN agar bisa memenuhi kebutuhan listrik mereka. Seperti teman saya AYU yang pasti sebal kalau lagi asyik online tiba-tiba diskonek dan terpaksa online pakai Hape.. hehehe iya kan yuk!!].

Tulisan ini mungkin bisa sedikit menjelaskan kepada kita. Ditulis oleh idola saya DAHLAN ISKAN di Jawa Pos edisi 17-18 Nopember 2009. Silahkan simak dan silahkan merasa semakin gemas, geregetan bahkan sakit hati kita dibuatnya.

Dampak Pembangkit Listrik yang “Salah Makan”

Oleh : DAHLAN ISKAN

DIREKTUR utama PLN harus melaku­kan ini. Terutama kalau semua orang menghendaki kelistrikan Indonesia bisa baik. Tapi, semua direktur utama PLN, baik yang lalu, yang sekarang, maupun yang akan datang tidak akan bisa mela­kukan ini.

Bayangkan. PLN memiliki banyak sekali pembangkit listrik raksasa yang mestinya dijalankan dengan gas, kini harus diberi makan solar. PLTG “salah makan” ini. meliputi sekifar 5.000 MW! Yang 740 MW dua buah ada di dekat Jakarta. Yang 1.000 M W ada di Gresik. Yang 750 MW ada di Pasuruan. Dan di beberapa tempat lagi di Jawa ini.

PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) itu tentu didesain untuk diberi “makan” gas. Namun, PLN tidak bisa mendapat­kan gas. Bukankah negeri ini punya banyak gas? Juga dikenal sebagai peng­ekspor gas? Ya. Itu benar. Tapi, untuk PLN terlalu banyak persoalannya. Kalau saya uraikan di sini bisa menghabiskan seluruh halaman Surat kabar ini.

Yang jelas, akibat tidak bisa mendapatkan gas, PLTG-PLTG tersebut diberi makan solar. Memang desain mesinnya memun­gkinkan untuk itu, meski kapasitasnya berkurang sampai 15 persen. Maka PLTG itu sudah sepantasnya kini disebut PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Solar).

PLTG “salah makan” inilah salah satu penyebab utama kesulitan PLN dan se­kaligus kesulitan menteri keuangan. PLTG “Isalah makan” inilah yang menjadi salah satu penyebab direksi PLN beserta seluruh staf dan karyawannya telah menjadi­bangsa pengemis.

Tiap bulan PLN harus menge­mis ke menteri keuangan untuk bisa mendapatkan subsidi. Pada 2008 saja, subsidi itu mencapai Rp 60 triliun setahun. Baca: Rp 60.000.000.000.000.

Mengapa?

Kalau saja PLN bisa mendapat­kan gas, biaya produksi listriknya bisa lebih murah. Tinggal hampir separonya. Harga gas kini sekitar USD 7 dolar/ton ekuivalen. Pada­hal, harga solar USD 16 dolar/ ton ekuivalen.

Solar itulah “makanan” PLTG yang harganya lebih mahal, tapi rasanya lebih pahit. Kapasitas PLTG-nya turun 15 persen. De­ngan menggunakan solar itu, asapnya begitu hitam. Kalau saja Anda melewati tol dari Bandara Cengkareng ke arah Tanjung Priok (Jakarta), menengoklah ke utara. Anda akan melihat di arah pantai dekat Ancol sangat banyak cero­bong yang mengeluarkan asap hitam. Itulah bukti nyata kasus PLTG “salah makan”. Cerobong yang mengeluarkan asap hitam itu pertanda PLTG tersebut lagi diberi makanan yang salah dan karena itu kentutnya yang mesti­nya tidak kelihatan menjadi jelas berwarna hitam.

Kalau saja 5.000 MW PLTG “salah makan” tersebut diberi ma­kanan yang benar, PLN akan menghemat sedikitnya Rp 10 tri­liun. Itu per tahun! Pasti menteri keuangan yang cantik itu akan kelihatan semakin cantik karena mulai bisa tersenyum. Sang men­teri barangkali selama ini kesal juga karena setiap bulan harus melayani pengemis subsidi dengan nilai yang begitu menggemaskan.

Ada lagi yang lebih menggemas­kan. Sebagai orang swasta yang kalau melakukan investasi meng­gunakan 10 kalkulator (agar bisa berhemat), saya sangat gemas akan keputusan investasi seperti itu di masa lalu. Untuk investasi 5.000 MW PLTG “salah makan” tersebut, menurut perkiraan saya, telah menghabiskan uang sekitar Rp 100 triliun. Mayoritas dilaku­kan waktu Orde Baru.

Anehnya, masih juga diizinkan pembangunan PLTG baru 740 MW di dekat Jakarta. PLTG ini me­mang milik swasta. Tidak memberatt­kan keuangan PLN. Tapi, ketika mulai membangun dulu, si swasta minta jaminan pemerintah bah­wa pemerintah pasti bisa mem­berikan gas kepadanya.

PLTG baru itu akhirnya selesai dibangun. Masih gres. Baru sekitar dua bulan lalu selesai dan mulai beroperasi. PLTG ini memerlukan gas kira-kira 230 MMBTU (Mi­llion Metric British Thermal Unit). Seperti sudah bisa diduga, peme­rintah tidak bisa menyediakan gas dari sumber yang baru untuk me­menuhi janjinya itu.

Akibatnya, sangat parah. Baik secara fisik maupun secara akal sehat. Pemerintah dengan mudah memutuskan mengalihkan gas yang selama ini untuk jatah PLTG milik PLN ke PLTG baru milik swasta itu. Agar janjinya kepada swasta asing terpenuhi. Saya tidak sampai hati menuliskan akibat fi­sik yang ditimbulkan oleh kebi­jaksanaan ini.

Lalu, bagaimana bisa mengatasi persoalan PLTG “salah makan” ini? Mengapa membangun PLTG kalau sudah tahu tidak akan bisa mendapatkan gas? Mengapa membangun PLTG kalau setelah dijalankan mengakibatkan PLN/ negara harus menderita kerugian Rp 10 triliun/tahun?

Dirut PLN harus mengubah itu semua. Tapi, Dirut PLN, yang se­karang maupun yang akan datang, tidak akan mampu mengubahnya. Kecuali diberi payung hukum un­tuk boleh mengatasinya. Inilah payung yang sekali diberikan bisa menghasilkan penghematan Rp 10 triliun per tahun.

Payung, begitu sederhana barang­nya. Puluhan triliun rupiah manfaat­nya.

PERTANYAAN: Indonesia begitu kaya gas. Mengapa PLN sampai tidak bisa mendapatkan gas? Sehingga sebagian pembangkitnya, sekitar 5.000 MW, harus di­beri “minum” solar yang dalam setahun menghabiskan uang PLN Rp 80 triliun?

Urusan ini rumitnya bukan main. Memang yang berhak mengatur perdagangan gas ada­lah pemerintah. Mestinya pemerintah bisa mengaturnya lebih baik. Tapi, saya masih bel um tahu siapa yang disebut pemerintah itu. Yang jelas, pemilik‑pemilik ladang gas adalah perusahaan swasta. Asing maupun domestik.

Para pemilik ladang gas tentu ingin menjual gasnya dengan harga terbaik. Sebab, investasi untuk menemukan ladang gas tidak sedikita.

Maka, PLN harus bersaing de­ngan pembeli-pembeli lain: peda­gang luar negeri maupun peda­gang dalam negeri, seperti Peru­sahaan Gas Negara (PGN).

Keinginan lain para pemilik la­dang gas adalah ini: pembeli harus mengambil semua gas yang diha­silkan suatu sumur, berapa pun jumlahnya. Di sini PLN ditakdir­kan kurang bisa fleksibel. Sebuah pembangkit listrik tentu sudah di desain memerlukan gas sekian MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Sedangkan pro­duksi sebuah sumur gas kadang kurang dari kebutuhan itu dan ka­dang sedikit kelebihan.

Dalam hal produksi sebuah su­mur gas kelebihan, katakanlah 15 persen, dari kebutuhan sebuah pem­bangkit listrik, dilema muncul: di­beli semua PLN rugi, tidak dibeli semua pemilik sumur gas rugi.

Maka, mestinya, tidak ada jalan lain kecuali ada kerja sama yang sangat khusus antara PLN dan PGN. Kalau PLN mendapatkan sumur gas yang produksinya ke­lebihan, kelebihan itu bisa disalur­kan ke PGN. Sebaliknya, kalau produksi sebuah sumur gas kurang dari jumlah yang diinginkan PLN, PGN yang harus menambahnya. Sampai sekarang kerja sama se­perti itu rasanya belum ada. Egois­me setiap perusahaan masih sa­ngat menonjol. Padahal, dua-dua­nya milik pemerintah.

Memang itu saja belum cukup. PGN juga sebuah perusahaan yang harus berlaba. Apalagi, seka­rang sudah menjadi perusahaan publik. PGN sendiri kekurangan gas untuk melayani pelanggannya. Baik pelanggan rumahan dan teru­tama pelanggan industri. Maka, terjadilah persaingan ketat antara PLN dan PGN sebagai sama-sama pembeli gas dari ladang migas. Per­saingan ini yang sampai sekarang belum mendapatkan jalan keluar.

Tentu ada yang berdoa agar ke­dua perusahaan itu jangan cepat­cepat rukun. Para pedagang solar (di dalam maupun di luar negeri) yang setiap tahun mengeruk uang PLN sampai Rp 80 triliun akan kehilangan bisnis yang mengilap dari pedagangan solar. Bahwa itu membuat PLN dan pemerintah sulit, yang kurang pintar kan PLN dan pemerintah sendiri.

Tentu ide yang paling realistis adalah membangun LNG-gasifika­si terminal. PLN atau investor yang bekeda sama dengan PLN diminta membangun terminal LNG-gasifi­kasi. PLN atau investor bisa mem­beli LNG (Liquefied Natural Gas atau gas alam cair) dari mana saja dalam jumlah yang pas untuk ke­pentingan PLN. Bisa dari Tangguh di Papua, bisa dari Senoro di Luwuk (Sulteng) bisa juga dari Qatar atau Iran. Atau dari tempat lainnya

LNG itulah yang kemudian diubah menjadi gas di sebuah termi­nal LNG-gasifikasi. Terminal ini bisa dibangun di sekitar Cilegon. Bahkan, sudah pula ada teknologi baru: terminalnya dibuat terapung di lepas pantai Jakarta. Agar dekat dengan “PLTG salah makan” yang sekarang membuat masalah itu.

Saya tidak melihat jalan lain. Hanya dua itulah jalan keluamya: kerja sama yang baik dengan PGN atau membangun terminal LNG­-gasifikasi. Yang pertama harus difa­silitasi pemerintah dan yang kedua harus difasilitasi pemerintah.

Memang masih ada jalan lain. Tapi, terlalu radikal. Lelang saja PLTG-PLTG itu! Daripada bikin penyakit yang mengisap darah keuangan pemerintah. Hasil le­lang barang bekas itu untuk di­belikan PLTU bekas yang dire­kondisi seperti baru.

Jalan “gila” itu bisa menyelamat­kan uang negara setidak-tidaknya Rp 10 triliun/setahun. Baca: 10.000.000.000.000/setahun. Ka­lau saja di swasta dan saya yang menjadi pemiliknya, saya akan lakukan yang terakhir ini.

Masih ada penghematan lain yang juga triliunan rupiah. Tapi, dua seri tulisan ini saja sudah bisa menggambarkan mengapa PLN mengalami kesulitan sela­ma ini. Dan mengapa sulit pula dipecahkan. (*)

JP-19/11/09

AYAM mati di lumbung peribahasa yang sangat cocok untuk menggambarkan kelistrikan di  Indonesia. Di Pulau Kalimantan yang kaya raya akan batubara, hampir seluruh kotanya krisis listrik dengan sangat gawat. Bukan sejak sebulan yang lalu, tapi sudah 10 tahun atau 20 tahun lamanya.

Kota seperti (deretan nama-nama kota ini anggap saja pelajaran baru ilmu bumi): Pontianak, Singkawang, Sanggau, Ketapang, Pangkalanbun, Sampit, Palangkaraya, Sam­arinda, Balikpapan, Penajam, Tanahgrogot, Bowang, Sengata, Tanjungredep, Tanjung­selor, Tarakan, sampai ke kota penting di dekat negara tetangga seperti Nunukan dan Tanatidung bukan main menderitanya.

Tidak terhitung lagi orang yang kehilangan rumah karena lampu mati. Mereka menya­lakan lilin, ketiduran, dan rumah yang umumnya terbuat dari kayu terbakar. Ki­sah pilu seperti itu menjadi berita koran lokal yang tidak habis-habisnya. Kebetu­lan, saya memiliki koran di semua kota yang disebut terdahulu itu dan yang akan disebut kemudian.

Lalu, generasi masa depan macam apa yang akan tercipta dengan kondisi listrik seperti itu?

Belum lagi penderitaan para investor. Mencari investor yang man masuk ke dae­rah-darah itu bukan main sulitnya. Investor rasional pasti langsung mengabaikan dae­rah-daerah itu

Tapi, begitu ada investor yang “emosional” (biasanya ada hu­bungan darah dengan salah satu daerah tersebut seperti saya), kekecewaanlah yang diberikan oleh PLN. Banyak investor ho­tel-hotel bagus menderita karena listriknya mati-mati terus. Ba­nyak investor perumahan yang rumahnya sudah siap tapi list­riknya tidak ada.

Itu bukan cerita satu bulan yang Yalu. Cerita duka tersebut sudah terjadi sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Atau sejak 20 tahun silam. Sampai hari ini.

Tetangga dekat Kaltim di Su­lawesi seperti Mamuju, Palu, Poso, Luwuk, Gorontalo, Tolitoli, Kendari, dan bahkan Makasar pun kurang lebih juga sama. Pa­dahal, membawa batubara yang murah dari Kaltim ke Palu hanya perlu menyeberang satu malam.

Saya tidak perlu lagi menyebut kota seperti Tanjungpinang di Riau, Pangkal Pinang di Bangka, Tanjungpandan di Belitung. Be­lum juga menyebut Ambon, Lom­bok, Kupang, Flores, Ternate, Sorong, Jayapura, Merauke…. Pokoknya, sebutlah nama kota di mana saja di luar Jawa. Lebih mudah menyebut yang krisis list­rik daripada yang tidak.

Kesabaran para gubernur se­perti gubemur Kaltim, gubernur Kalteng, dan gubernur Kalbar sudah habis karena terus-menerus didemo rakyatnya. Juga gubernur di wilayah lain tadi. Tapi, para gubemur itu hanya bisa menerus­kan suara pendemo itu ke PLN. Sebab, hanya PLN yang diberi hak untuk memiliki dan mengelo­la listrik di seluruh Indonesia nan luas ini. Tapi, suara pendemo itu datang dari tempat yang terlalu jauh dilihat dari kantor pusat PLN nun di Jakarta sana.

Begitu kaya Kalimantan akan batubara. Tapi, mayoritas pem­bangkit listrik di kawasan tadi menggunakan disel. Maka, PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) menjadi raja di sana. Raja yang haus uang, tapi lembek tenaga. Haus uang karena menghabiskan uang negara. Lembek karena le­mah sekali tenaga listrik yang dihasilkannya.

Padahal, wilayah itu begitu kaya akan batubara. Kaya-raya. Superkaya. Tapi, kekayaan itu tidak mem­bawa berkah ke diri sendiri. Ba­tubara itu mengalir ke India, Thailand, Tiongkok, Jepang, ba­hkan sampai ke Eropa dan Ame­rika. Ibarat lagu Gesang, batu­bara Kaltim itu “mengalir sampai jaaaaauuuuuh”. Sampai mem­buat wilayah Kalimantan dan Sulawesi sendiri terlupakan. Kalau saja ada pikiran sehat untuk mengubah wilayah itu, betapa gembiranya rakyat di seluruh kawasan tersebut. Mengapa kita yang begitu kaya batubara tidak mampu meman­faatkannya untuk membuat rak­yatnya sendiri tersenyum. Memang pernah dicoba untuk mengatasinya. PLN mengadakan tender pembangunan PLTU di beberapa wilayah yang disebut tadi. PLN juga sudah menyata­kan berpuluh-puluh investor sebagai pemenang tendernya. Kalau saja semua berjalan baik, hari ini wilayah-wilayah tersebut sudahmulai sedikit terang.Tapi, sampai hari ini, sudah tiga tahun kemudian, tidak satu pun para pemenang tender itu menyele­saikan pekerjaannya. Bahkan, sebagian besar belum memulai­nya sama sekali. Sebagian lagi menghentikannya.

Ada persoalan kecerdasan mendasar dan kejujuran yang kurang ditegakkan di sini. Sistem tender itu harus diubah total. Direformasi habis-habisan.

Padahal, kalau PLTD-PLTD itu diubah semua menjadi PLTU kecil dan menengah, bukan saja rakyat di wilayah itu bisa terse­nyum, menteri keuangan yang cantik itu pun akan ikut terse­nyum. Negara bisa berhemat paling sedikit Rp 20 triliun seta­hun. Baca: Rp 20.000.000.000.000/ setahun. Dan lagi, kalau wilayah ­wilayah itu punya listrik, inves­tor berdatangan ke sana. Peng­hasilan pajak juga naik. Tenaga kerja akan mengalir ke sana: tidak perlu lagi ada dana trans­migrasi!

Pandai benar orang yang men­ciptakan peribahasa “ayam mati di lumbung” itu. Dia berhak berbangga karena ada contoh yang pas untuk membuktikan­nya: listrik kita! (*)

9 thoughts on “Kenapa Ya Listrik Kok Byar Pet akhir-akhir ini

  1. Bahan bakar fosil masih jadi Favorit PLN. Sekarang di beberapa tempat sudah mulai dikembangkan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Jadi semacam PLTA tapi kecil, hanya memanfaatkan aliran air sungai “yang masih terkendali alirannya”. Cocok di terapkan di daerah pegunungan….

  2. persoalannya lebih kompleks lagi karena laju pertumbuhan kebutuhan listrik tidak berimbang dengan laju penyediaannya, jadi yang terjadi adalah defisit listrik yang berdampak pada krisis listrik, bisa lihat roadmap kebijakan energi 2003-2025 dalam Perpres No 5 thn 2006 yang semua tidak ditaati untuk direalisasikan, ya begini akibatnya….

  3. iki kunjungan pertamaku mas..salam kenal, salam Bala Tidar..
    jangankan pembangkit listrik…orang kalo salah makan juga bisa jadi sakit kok..akhirnya ke dokter , keluar biaya..
    smoga aja cepet selesai persoalan listrik negara ini…

  4. APABILA MAYORITAS DINEGRI INI BAIK MAKA NEGARA INI MENJADI BAIK. MARI KITA LIHAT BUMN 76% PRIBUMI 16% NONPRI 8% KENYATAANNYA MALAH TERBALIK. MAYORITAS DINEGRI INI BURUK. PERSOALAN YG PALING MENDASAR ADALAH INDIVIDU2 ANAK NEGERI INI YG MAYORITAS BERAGAMA ISLAM TIDAK BISA MEMBAWA APA2 YG DIDALAM SHOLAT2NYA DIBAWA DALAM KEHIDUPAN SEHARI2.MEREKA BERSIKAP AMBIVALENSI TERHADAP KETENTUAN SANG PENCIPTA JIKA YME MEMERINTAH A MAKA UMAT MAYORITAS ISLAM DI INA MENCOBA CARA B DAN JIKA ADA EFEK SAMPINGAN AKHIRNYA TIDAK BISA MENGATASINYA. RENUNGAN: KLO KITA SEORANG MUSLIM TENTULAH DIKALBU (MAKNAWI) TERTANAM LAA ILLAHA ILALLAAH BUKANNYA LAA ILLAHA ILAL FULUS.
    KLO KITA INI BANGSA INA MAKA DIHATI INI(POKOK INTERNAL) AKAN TERTANAM SILA 1 DARI PANCASILA(POKOK EXTERNAL) YAKNI KETUHANAN YME AKAN TETAPI JIKA DIHATI INI TERTANCAPNYA KEUANGAN YANG MAHA ESA (SILA 1 DARI PANCA GILA) > MAKA KITA BUKANNYA BANGSA INA TETAPI PADA GALIBNYA ADALAH BANGSAT INDONESIA
    PENCERAHAN: 1 KITA BISA LARI DARI TANGGUNG JAWAB AKAN TETAPI KITA TIDAK BISA MENGHINDAR DARI AKIBAT. 2.BEDAKANLAH ANTARA KEBUTUHAN DNG KEINGINAN DAN ANTARA SARANA DNG TUJUAN. JIKA KITA MENGAKU BANGSA INDONESIA APALAGI ISLAM AGAMANYA KENAPA KITA TDK MAU HIDUP SEDERHANA TETAPI BERFIKIR CERMELANG SEPERTI YANG DICONTOHKAN PARA NABI A.S MALAH MENGEJAR DAN MENCIPTAKAN SENDIRI STANDART2 KEHIDUPAN LAWAN2NYA PARA NABI AS (MAU JADI PENGIKUT FIRAUN YA) DIAWALI DNG KORUPSI UJUNG2NYA NERAKA.
    KISAH NYATA U INTROPEKSI> SEORNG KAWAN YG KTP INA BERAGAMA DI KTPNYA BEROTAK ATHEIS MENYATAKAN BAHWA TUHAN ITU TIDAK ADA MAKA ANA JAWAB “ANDA BETUL 100% SESUAI DENGAN HADITS QUDSI AKU SPRT PRASANGKA HAMBA2KU JIKA AKU TIADA MAKA TIADA LAH AKU BAGI ANDA” ITULAH SIFAT DARI SANG PENCIPTA AKAN TETAPI BEDA DNG SIFAT MAKHLUK SURGA DAN NERAKA PASTI ANDA AKAN BERJUMPA SUKA ATAUPUN TIDAK SUKA. DUNIA INI SARANA BUNG! TUJUAN KITA ADALAH MENGISI TAMAN2 SORGA YG SANGAT INDAH DAN SEKARANG MASIH KOSONG. HATI2LAH KALIAN BERFIKIR KRN FIKIRAN KALIAN DIBACA OLEH YME

Leave a comment